Sabtu, 13 Maret 2010

Korelasi Antara Iman dan Ilmu Pengetahuan dalam Tindakan

Publized by : Ns Da'i

Pengetahuan bukanlah sekedar memperoleh informasi,
melainkan sebuah proses transformasi.
(Mulla Shadra)

Manusia dilahirkan dalam keadaan suci, maksudnya suci terbebaskan dari berbagai hal yang menghalangi komunikasinya dengan Tuhan. Seiring pertumbuhannya, kadangkala manusia itu mulai bergeser dari kontraknya dengan Tuhan, yang sebelum lahir ke dunia, hanya Dialah yang di imani. Pergeseran keimanan ini memerlukan kesadaran bahwa manusia itu mempunyai keawajiban untuk percaya terhadap Yang Maha Kuasa, yang memiliki kehidupan.

Menanamkan keimanan (pembenaran atau percaya) kepada Tuhan harus ditanamkan sejak dini. Dan memberi pengertian tentang iman harus menggunakan bahasa yang sederhana, karena Tuhan itu memang sederhana. Setelah manusia itu percaya adanya Tuhan ia harus meyebarkan sifat ketuhanan itu pada sesamanya.

Untuk mengetahui makna iman itu sendiri harus ditopang dengan ilmu pengetahuan yang luas, untuk menghindari kesalahan yang berhubungan dengan keimanan kita teradap Tuhan. Dengan landasan ilmu pengetahuan manusia akan terjaga dari hal-hal yang merusak keimanan seperti syirik, berbuat dzhalim dan segala bentuk kemungkaran. M. Shahrur seorang Mufassir Siria memberikan tamsil tentang kisah Ibrahim yang berdialog dengan Tuhan untuk memantapkan keimanannya sebagaimana dinukil oleh Safii Ma’arif: ….ingatlah ketika Ibrahim berkata: “Hai Tuhanku! Tunjukkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati”! Allah menjawab: “Tidaklah engkau pecaya kepadaku? Sahutnya: “ Ya aku percaya, tapi demi menetapkan hatiku,” Dari kejadian ini Shahrur kemudian menyimpulkan; ”kasus ini memberikan kepada kita kunci penting metode ilmiah murni yang tanpanya tidak mungkin orang memajukan ilmu, yaitu metode ragu untuk menuju keyakinan. Dari gambaran di atas, ungensi ilmu pengetahuan dalam mengimani sesuatu harus diuji melalui pendekatan ilmiah, untuk membawa kita pada kebenaran yang sejati, walaupun pendeketan ilmiah tidak sepenuhnya dapat dijadikan barometer kebenaran yang mutlak, karena kebenaran yang mutlak Tuhan itu sendiri.

Tulisan sederhana ini akan mencoba memberikan sedikit pemahaman tentag iman, ilmu dan amal. Sehingga keimanan kita selama ini tidak hanya sekedar percaya bahwa Tuhan iti ada, tapi kita dapat memberikan argumentasi bahwa Tuhan itu memang ada wujudnya. Hanya keterbatasan ilmu manusia yang tak dapat menjangkaunya. Walaupun kita tidak dapat mengetahui wujud Tuhan tapi kita wajib percaya dan mempelajari kebesaran Tuhan itu melalui ilmu pengethuan yang dimiliki dengan membaca alam semesta.

Memahami Keimanan Secara Fundamental

Pengertian iman menurut bahasa adalah pembenaran konfirmasi, sedangkan syar’ adalah pembenaran konfirmatif rasul terhadap segala sesuatu yang diketahui sumber kehadirannya secara pasti. Iman merupakan verbelitas keyakinan, pernyataan merupakan merupakan argumen ekplesitasnya dan praksis-praksis tindakan lahir dari hal yang disebut iman. Mengimani adanya Tuhan tidak cukup hanya sekedar meyakini dan mengucapkannya, tapi keimanannya itu harus diwujudkan melalui sebuah tindakan konkrit. Salah satu bukti keimanan itu ialah dapat mewujudkan apa yang telah diperintah-Nya dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Seperti menolong terhadap kaum-kaum lemah (mustadafin) yang membutuhkan pertolongan orang lain. Kaum lemah (mustadafin) mudah terpengaruh oleh godaan duniawi, yang dapat merusak keimanannya. Jadi harus ada keseimbangan antara hubungan vertikal dan hubumgan horizontal (hablun minallah, hablun minannas).

Jauh atau dekat dengan Tuhan sepenuhnya tergantung kepada suasana hati seseorang. Hati yang tulus dan nurani yang peka tidaklah sulit untuk mengkomunikasikan dengan Yang Ghaib, karena hati yang bersih, dapat terjaga dari perbuatan fasiq. Karena fasiq dapat merusak hati manusia yang beriman terhadap-Nya. Hati yang terjaga dari penyakit hati dapat mempermudah komunikasi dengan Tuhan dan terasa dekat bila kita selalu mengingat dan menjalani pesan-pesan-Nya yang tertuang dalam Kitab Suci.

Bagi seorang Muslim, iman adalah bagian paling mendasar dari kesadaran keagamaannya. Dalam berbagai makna dan tafsirannya, perkataan iman menjadi bahan pembicaraan yang tak kunjung usai di setiap pertemuan keagamaan,untuk di diskusikan dalam rangka mencapai kepahaman tentang iman, dan yang selalu disebutkan dalam rangka peringatan agar dijaga dan diperkuat. Keteguhan keimanan seseorang akan membawanya kepada tingkat keimanan yang luhur. Dalam hal ini manusia itu harus dapat menjaganya dari perbuatan yang dapat menggoyahkan keimanan. Seperti syirik dan hal-hal yang dapat menjauhkan diri kita kepada Yang Kuasa.

Dasar keimanan Islam itu memberi kemantapan dan keyakinan kepada diri sendiri yang sungguh besar. Dengan dasar iman yang kokoh, seorang Muslim merasa mantap dan aman, bebas dari rasa takut dan khawatir. Juga karena imannya, ia tidak pernah menderita rasa rendah diri berhadapan dengan orang atau bangsa lain, betapapun hebatnya. Jika iman itu betul-betul menancap pada diri Muslim, ia mempercayai hanya Tuhanlah yang mempunyai kekuatan dan menjaga dirinya dari hal-hal yang membahayakan.

Mengimani Adanya Tuhan Melalui Ciptaan-Nya.

Pada dasarnya tujuan hidup manusia adalah untuk “mengabdi” kepada Allah atau memperkembangkan potensi-potensinya sesuai dengan perintah (amr) Allah dengan kemauannya sendiri dan untuk memanfaatkan alam (yang secara otomatis adalah Muslim, “atau tunduk kepada Allah), ia pun harus mempunyai cara-cara yang memadai untuk memperoleh nafkah dan untuk “menemukan jalan yang benar”. Mengimani adanya Tuhan tidak cukup sebatas percaya tanpa ada perenungan yang dapat membuktikan kebenaran adanya Tuhan. Dalam hal ini Tuhan telah banyak memberikan media untuk mengetahui-Nya lebih dekat. Media untuk mengenal Tuhan telah di jelaskan melalui al-Quran yaitu membaca ciptan-Nya baik yang ada bumi maupun di langit. Melalui perenungan terhadap ciptaan-Nya dan femnomena-fenomena yang terjadi menimpa umat manusia dapat di jadikan ibroh dan memberikan rasa percaya kita lebih mendalam. Ini terbukti dengan adanya dokumen tertulis yang di abadikan Tuhan melalui al-Quran, ketika ruh dan jasad Fir’un akan terpisah ia memberikan suatu pernyataan mengakui keagungan dan kekuasaan Tuhan.

.….hingga saat Fir’aun itu Telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan (Q.S. Yunus: 10: 90)

Al-Quran tidak “membuktikan” adanya Tuhan tetapi “menunjukkan” cara untuk mengenal Tuhan melalui alam semesta yang ada. Bahkan seandainya tidak ada alam semesta yang bekerja sesuai dengan hukumnya, sedang yang ada hanyalah satu hal saja, maka hal ini pun karena sifat ketergantungannya, akan menunjukkan ke arah Tuhan. Hal ini juga dijelaskan oleh M. Quraish Shihab, kalau kita membuka lembaran-lembaran al-Qur’an, hampir tidak ditemukan ayat yang membicarakan wujud Tuhan. Al-Qur’an hanya mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan dan bahwa hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya.

Perbedaan pokok di antara manusia dan alam adalah: jika alam tidak dapat mengingkari perintah Allah kepadanya menurut kehendaknya sendiri. Jadi perintah kepada alam, di dalam diri manusia berubah menjadi perintah moral. Dengan demikian manusia memiliki posisi yang unik di dalam alam semesta ini. Dan karena keunikan posisinya itu kepada manusia dibebankan tanggungjawab yang unik dan tanggungjawab ini hanya dapat dilaksanakan melalui taqwa.

Ilmu Pengetahuan Sebagai media Meraih Keimanan Paripurna

Ilmu sebagai hasil aktivitas manusia yang mengkaji berbagai hal, baik diri manusia itu sendiri maupun realitas di luar dirinya, sepanjang sejarah perkembangannya sampai saat ini selalu mengalami ketegangan dengan berbagai aspek lain dari kehidupan manusia. Ilmu merupakan dasar dari segala tindakan manusia. Kerana, tanpa ilmu segala tindakan manusia menjadi tidak terarah, tidak benar dan tidak bertujuan. Memahami sesuatu dengan hakikatnya, dan itu bererti keyakinan dan pengetahuan. Jadi ilmu merupakan aspek teoritis dari pengetahuan. Dengan pengetahuan inilah manusia melakukan perbuatan amalnya untuk mendapatkan ridha-Nya. Karena setiap perbuatan yang dilakukan bukan karena Allah, maka akan sia-sia.

Pengertian Kata Ilmu

Ilmu adalah bentuk masdar dari kata ’alima—ya’lamu-ilman yamg berarti tahu atau mengetahui. Kata ’ilm dan derefativnya dalam al-Qur’an disebut sebanyak 744 kali, dan khusus kata ’ilm disebut banyak 105 kali. Hal ini mengisyaratkan, bahwa ilmu sangat penting dalam urusan duniawi maupun ukhrawi.

Ilmu di definisikan sebagai sejenis ilmu pengetahuan, tetapi bukan sembarang pengetahuan, melainkan pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara tertentu, berdasarkan kesepakatan di antara para ilmuwan. Ilmu, yang sudah menjadi bahasa indonesia, bukan hanya sekedar bahasa arab, tetapi juga tercantum dalam al-Qur’an. Dalam bahasa arab sehari-hari sebelum turunnya al-Qur’an, ilmu hanya berarti pengetahun biasa. Tetapi melalui al-Qur’an yang turun tahap demi tahap, kata ini berproses dan membentuk makna dan pengetehuan tersendiri, yang terstruktur. Memang kata ilmu itu bisa sekadar diartikan sebagai ”pengetahuan” biasa, tetapi bisa lebih dari itu, tergantung dari pemahaman orang terhadap makna kata tersebut.

Pengertian ilmu pengetahuan terdapat pula dalam kata hikmah yang sudah menjadi kata Indonesia. Biasanya kata hikmah dipakai langsung tanpa terjemahan, dan pengertiannya adalah pelajaran. Kata ini sering digunakan dalam mengungkapkan pernyataan yang mengandung pelajaran yang dapat memberikan motivasi hidup terhadap orang lain. Baik motivasi untuk belajar ilmu pengetahuan maupun motivasi dalam meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. dan memberi motivasi kepada orang lain. Dalam al-Quran sendiri kata hikmah memang berkaitan dengan hasil pemikiran, hikmah merupakan sesuatu yang sangat berharga, seperti tercermin dalam al-Quran:

Allah memberi hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang mendapatkan hikmah, sungguh ia telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat megambil pelajaran (dzkir), kecuali orang yang berakal (ulil albab). (Q.S: 2: 268).

Dari ayat di atas kita memperoleh pula definisi ulil albab, yaitu orang-orang yang melakukan pemikiran secara berulang-ulang dan terus menerus, sehingga akhirnya bisa meraih pengetahuan yang tertinggi, atau hikmah. Orang yang memiliki aktivitas mental dan menggunakannya untuk menatap ayat-ayat Tuhan dan mengaktulisasikan dalam dunia praksis disebut ulil albab. Tapi, setinggi apapun pengetahuan seseorang, jika ia tidak peduli terhadap realitas sekitarnya, maka dia akan terperosok pada jalan yang salah. Dalam al-Quran juga dapat dijumpai gejala ini:

Sesungguhnya dalam terciptanya langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, adalah pertanda (ayat) bagi yang memiliki akal (ulil albab). Yaitu orang-orang yang refleksi tentang Allah (dzikir), ketika mereka itu sedang berdiri, sedang duduk, atau sedang berbaring di atas lumbung mereka, dan mereka memikirkan (tafakkur) tentang kejadian langit dan bumi. (dan mereka pun berkata): Tuhan kami, Engkau tidak menciptanya tanpa tujuan, Maha Suci Engkau. Selamatkan kami dari siksa neraka. (Q.S: 3:190-191).

Maulana Muhammad Ali dalam tafsirnya mengatakan terhadap ayat ini, sebagaimana di nukil oleh M. Dawam Raharjo, konsekwensi berpikir dan berdzikir adalah menuntut ilmu. Sedangkan dasar dari ilmu pengetahuan itu, menurut al-Quran adalah proses berpikir, mempergunakan penalaran dan perenungan yang mendalam (dzikir), agar keimanan yang sejati diperoleh dalam proses perenungan dan dzikir. Namun intinya adalah bahwa pengetahuan itu dapat di peroleh melalui observasi (bashir) terhadap segala sesuatu yang merupakan dasar dari pemikiran, penalaran, perhitungan, pengukuran, dan perenungan. Dengan kata lain ilmu adalah sesuatu pengetahuan yang dapat dijelaskan.

Meskipun manusia tidak mungkin mengetahui Diri dan Hakikat Tuhan, namun manusia diperintahkan, dan bisa menindakkan, untuk giat memahami alam, sebatas yang mungkin. Justru adanya kemampuan berilmu itulah yang menjadi dasar penunjukan manusia menjadi wali penganti Tuhan di bumi. Karena itu, manusia harus aktif berilmu dan beramal, dalam rangka tugas kekahalifahan itu. Jika kita menghendaki kebahagian di dunia dan akhirat, kita harus beriman dan berilmu sekaligus, yang kemudian keduanya, iman dan ilmu, itu akan mewarnai amal perbuatan kita. Sebab, amal perbuatan kita, berupa kegiatan keseharian, harus mendapatkan motivasi atau dorongan niat yang benar, sesuai bunyi hati nurani (kalbu, dhamir, atau fuad) yang telah dipertajam, di perpeka dan dihidupkan dengan iman dan ibadat atau kegiatn spritual, dan diterangi oleh perhitungan ilmiah atau rasional yang tepat. Penggabungan antara kedua iman dan ilmu itu, dengan masing-masing cara pendekatannya, hendaknya ada pada setiap pribadi Muslim.

Karena itu, sepanjang ajaran al-Quran, jaminan keunggulan dan superioritas, termasuk kemenangan dan kesuksesan, akan dikaruniakan Allah kepada mereka yang beriman dan berilmu. (Q.S. 58:11). Beriman dalam arti mempunyai orientasi Ketuhanan dalam hidupnya, dengan menjadikan perkenan Tuhan sebagai tujuan segala kegiatannya. Dan berilmu, berarti mengerti ajaran secara benar, dan memahami lingkungan hidup di mana dia akan berkiprah, sosial-budaya dan fisik. Iman saja memang cukup untuk membuat orang berkiblat kepada kebaikan, dan mempunyai ”itikad baik”. Tapi iman tidak melengkapinya dengan kecakapan dalam bagaimana melaksanakan semuanya itu jadi tidak menjamin kesuksesan, ilmu saja, mungkin membuat orang cakap berbuat nyata. Namun tanpa bimbingan iman, justru ilmunya itu akan membuatnya celaka, lebih celaka dari pada orang lain yang tidak berilmu. Nabi saw. bersabda: ”Barang siapa bertambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia tidak bertambah apa-apa kecuali semakin jauh saja dari Allah SWT.”

Dari uraian diatas setidaknya dapat memberikan pencerahan kepada kita bahwa keseimbangan iman (percaya adanya Allah) harus di topang dengan ilmu pengetahuan yang cukup, agar kita tidak terjebak pada fanatisme dan terhindar dari tindakan saling mengkafirkan orang lain yang selama ini terjadi. Bila iman itu telah tertanan di hati kita dengan baik, dan di bungkus dengan ilmu pengetahuan yang cukup, maka harus di aktualisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Yaitu membantu kaum yang lemah dan memberi pemahaman tentang Tuhan.

Sumber Inspirasi

Hanafi , Hassan, 2007. Islamologi I, dari Teologi Statis ke Anarkis, Jogjakarta, LKiS

Ma’arif , Ahmad Syafi’I, 1995. Membumikan Islam, Jogjakarta, Pustaka Pelajar

Madjid, Nurcholish, 2008. Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta: Paramadina

________________, Islam Kemoderenan Dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan

Raharjo, M. Dawam, 1996. Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina

Rahman, Fazlur, 1996. Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Pustaka

Shihab, M. Quraish, 2007. Wawasan al-Quran, Bandung: Mizan

Sjadzili dkk., Munawir, 2005. Ensiklopedi, Al-Qur’an, Dunia Islam Modern, PT. Dana Bhakti Prima Yoga

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007. Filsafat Ilmu, Jogjakarta: Liberti